Oleh: Dr. Ronsen Pasaribu, SH, MM (Mantan Direktur Penanganan Konflik, Kementerian ATR/BPN)
JAKARTA, BATAK INDONESIA.CO – Sejak memasuki masa pensiun, saya kerap diminta membantu menyelesaikan berbagai persoalan tanah yang muncul sebagai dampak dari pemekaran wilayah. Salah satu contohnya adalah wilayah Bekasi, yang sebagian masuk ke Jakarta Timur dan Jakarta Utara. Kabupaten Tangerang pun pernah mengalami hal serupa, sebagian wilayahnya melebur ke Jakarta Selatan. Kasus-kasus seperti ini mungkin banyak terjadi di wilayah lain yang tidak terekspos publik.
Tulisan ini mencoba mengurai persoalan mendasar dan menawarkan refleksi atas sejumlah persoalan pertanahan yang timbul pasca pemekaran wilayah.
Pemekaran Wilayah: Harapan dan Realita
Secara konsep, pemekaran wilayah adalah strategi pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta efisiensi pemerintahan. Landasan hukumnya pun jelas, mulai dari Undang-Undang hingga Peraturan Daerah (Perda), lengkap dengan peta yang seharusnya menjadi pedoman utama. Namun, realitas di lapangan berkata lain—peta-peta batas wilayah seringkali tidak pernah dipublikasikan, sehingga masyarakat tidak memiliki referensi hukum yang kuat mengenai lokasi dan status lahannya.
Persoalan Pertanahan yang Muncul
Beberapa persoalan utama di bidang pertanahan pasca pemekaran wilayah adalah sebagai berikut:
Sengketa Lahan
Pemekaran seringkali menimbulkan konflik antara masyarakat, pemerintah, bahkan investor, akibat status lahan yang tumpang tindih atau tidak jelas.
1.Ketidakjelasan Batas Wilayah
Banyak batas administratif wilayah yang tidak sinkron antara dokumen hukum dengan kondisi di lapangan—baik batas alam maupun non-alam—yang memicu konflik antarwilayah.
2.Penguasaan Lahan yang Kabur
Banyak lahan yang dikuasai masyarakat secara turun-temurun, tetapi belum memiliki status hukum yang jelas. Hal ini menjadi penghambat utama pembangunan dan investasi.
3.Aspek Teknis: Serah Terima Dokumen Pertanahan
Dalam proses pemekaran, wilayah lama berkewajiban menyerahkan dokumen pertanahan (peta dan warkah) ke kantor pertanahan wilayah baru. Namun, karena adanya pergantian petugas dan lemahnya sistem dokumentasi, dokumen sering kali tidak tertib. Ketika masyarakat ingin melakukan konfirmasi atau pembaruan data pertanahan, mereka dihadapkan pada kendala administrasi seperti data yang hilang atau tidak ditemukan.
Konfirmasi ini seharusnya melibatkan pembaruan data wilayah administratif (kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota), namun prosesnya berbelit-belit.
Syarat Administratif yang Diperlukan
Untuk melakukan konfirmasi atau penggantian sertipikat tanah, masyarakat wajib melampirkan dokumen seperti:
- Sertipikat asli
- KTP & KK
- PBB terbaru
- Surat pengantar (PM1) dari kelurahan baru, sebagai bukti bahwa tanah tersebut diketahui dan diakui oleh pemerintah setempat.
Fenomena Mafia Tanah
Celah birokrasi dan ketidakteraturan administrasi dimanfaatkan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab—yang kini dikenal sebagai mafia tanah. Proses penggantian sertipikat yang semestinya sederhana, seringkali menjadi ladang pungli dan rekayasa, membuat posisi pemilik tanah menjadi sangat lemah.
Tak jarang masyarakat akhirnya enggan mengurus sertipikatnya, dan membiarkan dokumen tetap atas nama wilayah lama. Ini tentu berisiko tinggi dan bisa berujung pada sengketa serius di kemudian hari.
Ketiadaan Kebijakan Pendamping
Ironisnya, hingga saat ini belum pernah ada kebijakan khusus yang diterbitkan untuk mengantisipasi masalah pertanahan pasca pemekaran. Masyarakat yang dulunya tinggal di wilayah pinggiran, kini menjadi bagian dari wilayah metropolitan. Mereka harus membayar harga mahal: kemacetan, lonjakan harga tanah, dan tekanan pembangunan—tanpa mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.
Sebaliknya, keuntungan besar dari naiknya nilai tanah justru kerap jatuh ke tangan spekulan atau oknum tertentu, bukan kepada pemilik sah tanah tersebut.
Harapan dan Rekomendasi
Saya berharap, ke depan perlu ada kebijakan pendampingan yang berpihak pada masyarakat terdampak pemekaran wilayah. Negara harus hadir, melindungi hak-hak rakyat kecil yang rentan menjadi korban dalam transisi administratif yang tidak rapi.
Keterbukaan informasi dan transparansi proses di kantor pertanahan serta lembaga publik lainnya menjadi kunci utama. Dokumen pertanahan tidak boleh hilang hanya karena berpindah administrasi. Jika ini terus dibiarkan, masyarakat akan semakin apatis dan tidak lagi percaya pada proses hukum.
Jika tujuan pemekaran adalah kemajuan dan kesejahteraan, maka jangan biarkan masyarakat menjadi korban pembangunan yang mereka sendiri tidak pernah dimintai pendapatnya.***
Redaksi: Dr. Ronsen Pasaribu,SH,MM adalah mantan Direktur Penanganan Konflik di Kementerian ATR/BPN, aktif sebagai konsultan pertanahan pasca pensiun.















